Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) sukses mencetak kinerja moncer di tahun 2022. Di mana, ADRO meraih laba bersih US$ 2,49 miliar pada tahun lalu, meroket 167,07% dibanding tahun 2021 senilai US$ 933,49 juta.
Hasil itu didapat dari pendapatan usaha yang melesat 103% secara tahunan, dari US$ 3,99 miliar menjadi US$ 8,10 miliar.
Analis Ciptadana Sekuritas Asia Thomas Radityo menilai, secara kumulatif laba bersih ADRO tahun lalu mewakili 99,2% dari ekspektasi Ciptadana Sekuritas dan mencerminkan 103,1% dari estimasi konsensus.
Pendapatan ADRO juga sejalan dengan ekspektasi Ciptadana, yakni mewakili 102,3% dari perkiraan yang dipasang.
Pertumbuhan pendapatan disebabkan oleh peningkatan volume penjualan batubara sebesar 18,9% menjadi 61,3 juta ton. Sejalan, harga jual rata-rata alias average selling price (ASP) batubara ADRO mengalami kenaikan sebesar 73,9%
Hanya saja, kinerja ADRO diperkirakan melandai tahun ini, menyusul pelemahan harga batubara yang terjadi baru-baru ini. Thomas menurunkan estimasi ASP batubara ADRO tahun ini dan tahun depan masing-masing sebesar 20,0% dan 16,7% menjadi US$ 105,6 per ton dan US$ 80 per ton.
Penurunan ini bermuara pada pemangkasan estimasi pendapatan 2023-2024 sebesar 21,4% dan 17,5% menjadi US$ 6,9 miliar dan US$ 5,4 miliar.
Baca Juga: Kinerja 2022 Oke, Inilah Saham Blue Chip yang Diprediksi Masih Cuan Tahun 2023
Revisi turun pendapatan ini menghasilkan penurunan estimasi laba bersih masing-masing sebesar 21,4% dan 17,5% menjadi US$ 1,8 miliar dan US$ 1,1 miliar untuk tahun ini dan tahun depan.
Setelah melakukan revisi terhadap pendapatan dan laba bersih ADRO, Thomas menurunkan target harga saham ADRO menjadi Rp 4.300 dari sebelumnya Rp 5.100, dengan rekomendasi buy.
“Kami memilih ADRO sebagai salah satu pilihan utama (top picks) di sektor batubara, dengan ADRO yang memiliki masa cadangan yang cukup, portofolio yang beragam, sistem penambangan yang terintegrasi, dan yield dividend 2023-2024 yang menarik, di kisaran 11,1% dan 8,4%,” kata Thomas, Jumat (3/3).
Namun, risiko dari rekomendasi ini di antaranya berakhirnya perang antara Rusia dan Ukraina, adanya kemungkinan gas dan batubara Rusia membanjiri pasar Eropa, ketidakstabilan harga batubara, serta perubahan regulasi pemerintah yang menghasilkan tarif pajak dan royalti yang lebih tinggi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News