Reporter: kompas.com | Editor: Adi Wikanto
KONTAN.CO.ID - Jakarta. Aset dana pensiun di Indonesia terus meningkat setiap tahun. Namun peningkatan aset dana pensiun nasional belum sebanding dengan perlindungan nyata bagi masyarakat.
Bahkan, penghasilan pensiunan Indonesia masih di bawah standar global. Selain itu, masih banyak pekerja, terutama di sektor informal, yang tidak memiliki tabungan atau jaminan apapun untuk hari tua.
Ya, masa pensiun masyarakat Indonesia masih jauh dari kata aman. Sebagian besar pekerja belum memiliki jaminan pendapatan yang layak setelah tak lagi produktif.
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Ogi Prastomiyono, mengungkapkan bahwa replacement ratio atau rasio pendapatan saat pensiun di Indonesia baru mencapai 10–15 persen dari gaji terakhir.
Baca Juga: Bantu Kesejahteraan Pelayan, Restoran Dihimbau Pasang QRIS untuk Uang Tip
Padahal, menurut standar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), angka idealnya minimal 40 persen. Artinya, jika seseorang bergaji Rp 10 juta sebelum pensiun, seharusnya ia tetap menerima setidaknya Rp 4 juta per bulan sebagai manfaat pensiun.
Namun faktanya, banyak pensiunan di Indonesia yang hanya memperoleh sepersepuluh dari pendapatan saat masih bekerja. “Sebagian besar masyarakat Indonesia belum memiliki jaminan pendapatan yang memadai setelah usia pensiun,” ujar Ogi dalam acara Indonesia Pension Fund Summit (IPFS) di Tangerang Selatan, Kamis (23/10/2025).
Aset Dana
Ogi menjelaskan, aset dana pensiun Indonesia baru mencapai Rp 1.509,9 triliun pada 2024, atau sekitar 6,8 persen dari produk domestik bruto (PDB). Targetnya, angka itu akan naik menjadi 8 persen pada 2025.
Meski meningkat, Indonesia masih tertinggal jauh dibanding negara tetangga. Sebagai perbandingan, aset dana pensiun Malaysia sudah mencapai 60 persen dari PDB.
Kesenjangan ini menandakan bahwa dana pensiun Indonesia belum menjadi instrumen keuangan yang kuat untuk menopang kesejahteraan jangka panjang.
Menurut Ogi, akar masalahnya adalah rendahnya kepesertaan program pensiun wajib. Hingga 2024, baru 23,6 juta pekerja yang ikut dalam program tersebut dari total 144,6 juta angkatan kerja.
“Masih banyak yang perlu ditingkatkan untuk memperdalam pasar di sektor dana pensiun. Kuncinya adalah kolaborasi antar-lembaga dan pelaku industri,” tegas Ogi.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), pemerintah menargetkan rasio aset dana pensiun terhadap PDB naik menjadi 11,2 persen pada 2029 dan 20,4 persen pada 2045.
Angka itu sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045, yang menempatkan perlindungan sosial sebagai fondasi ketahanan ekonomi nasional.
Namun untuk mencapai target tersebut, Indonesia harus memperluas kepesertaan, memperkuat tata kelola, dan mendorong masyarakat untuk lebih sadar pentingnya perencanaan masa pensiun sejak dini.
Tonton: JP Morgan Prediksi Harga Emas Tembus 5.055 Dollar AS pada Akhir 2026
Cakupan Pensiun Masih Terbatas
Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, mencatat bahwa total aset dana pensiun nasional telah mencapai Rp 1.593 triliun hingga Agustus 2025, atau sekitar 7,2 persen dari PDB 2024.
Jumlah peserta juga meningkat menjadi 29 juta orang, dengan 188 entitas pengelola dana pensiun — tiga di antaranya merupakan program pensiun wajib.
Menurut Mahendra, tren kenaikan ini menunjukkan potensi besar bagi perluasan perlindungan sosial dan inklusi keuangan.
Namun ia mengingatkan bahwa tantangan struktural masih banyak, mulai dari perubahan demografi, penuaan penduduk, hingga kebutuhan harmonisasi sistem pensiun nasional yang lebih efisien.
“Pertumbuhan ini harus dibarengi dengan reformasi sistemik agar perlindungan hari tua benar-benar menyentuh seluruh lapisan masyarakat,” ujar Mahendra.
Direktur Pengembangan Dana Pensiun, Asuransi, dan Aktuaria Kementerian Keuangan, Ihda Muktiyanto, menjelaskan bahwa program pensiun wajib masih mendominasi industri dana pensiun di Indonesia.
Pada 2024, total aset program pensiun wajib mencapai Rp 690,22 triliun, yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan, Taspen, dan Asabri.
Rinciannya:
- BPJS Ketenagakerjaan mengelola Jaminan Pensiun senilai Rp 192,41 triliun dan Jaminan Hari Tua (JHT) Rp 497,87 triliun, dengan 19,1 juta peserta.
- Taspen mengelola Tabungan Hari Tua Rp 29,44 triliun dan Jaminan Pensiun Rp 39,81 triliun, melayani 3,9 juta ASN.
- Asabri mengelola Jaminan Pensiun Rp 30,14 triliun bagi anggota TNI, Polri, dan ASN Kementerian Pertahanan.
Sementara itu, program pensiun sukarela seperti Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) memiliki total aset Rp 325,61 triliun dengan 1,23 juta peserta. “Dari jumlah itu, DPPK menguasai Rp 236,61 triliun, termasuk dana pensiun berbasis syariah,” jelas Ihda.
Baca Juga: Harga Emas Antam Logam Mulia Naik Rp 33.000 Per Gram Jumat (24/10) Cek Detailnya!
Pekerja Informal Belum Tersentuh Perlindungan Pensiun
Masalah paling besar dalam sistem pensiun nasional adalah minimnya perlindungan bagi pekerja informal dan pelaku UMKM. Dari total 144 juta angkatan kerja, baru sekitar 23,6 juta yang memiliki program pensiun aktif.
Artinya, lebih dari 120 juta pekerja masih tanpa jaminan finansial di masa tua. “Pekerja informal masih menghadapi risiko besar ketika pensiun karena tidak memiliki perlindungan apa pun,” kata Ihda.
Padahal, kelompok ini menyumbang lebih dari 60 persen lapangan kerja nasional. Kondisi ini memperlihatkan masih lebarnya kesenjangan perlindungan sosial di Indonesia.
Tanpa reformasi menyeluruh, jutaan pekerja akan menghadapi masa pensiun yang rentan, bahkan miskin.
Perlu Kolaborasi untuk Membangun Sistem Pensiun yang Inklusif
Baik OJK maupun Kementerian Keuangan menegaskan bahwa reformasi sistem pensiun tidak bisa dilakukan sendiri. Diperlukan kolaborasi strategis antara pemerintah, industri keuangan, pemberi kerja, dan masyarakat.
Beberapa langkah strategis yang diusulkan antara lain:
- Meningkatkan literasi keuangan dan kesadaran pensiun sejak dini, terutama di kalangan pekerja muda.
- Memperluas cakupan program pensiun wajib agar mencakup pekerja informal dan pelaku UMKM.
- Mengoptimalkan peran Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) agar lebih fleksibel dan mudah diakses oleh masyarakat umum.
- Mendorong insentif pajak dan kemudahan administrasi bagi perusahaan yang menyediakan program pensiun karyawan.
- Membangun sistem digital terpadu untuk memantau kepesertaan dan kinerja dana pensiun secara transparan.
“Dari seluruh upaya reformasi yang kita jalankan, satu hal yang menjadi kunci keberhasilan adalah kolaborasi lintas pemangku kepentingan,” tegas Ogi.
(Tim Redaksi: Yohana Artha Uly, Sakina Rakhma Diah Setiawan)
Sumber: https://money.kompas.com/read/2025/10/24/093241626/penghasilan-warga-ri-turun-drastis-saat-pensiun-hanya-10-15-persen-dari-gaji?page=all#page2.
Selanjutnya: Surge (WIFI) Gandeng Huawei untuk Proyek Internet Terjangkau di Indonesia
Menarik Dibaca: 10 Film Horor Neraka yang Bikin Merinding, Wajib Tonton Siksa Neraka
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













