Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bankir mulai mewaspadai kenaikan suku bunga dan inflasi yang terus mendaki terhadap kemampuan debitur membayar kewajiban kredit. Terlebih bagi debitur yang mengikuti kredit yang direstrukturisasi terdampak Covid-19.
Kendati demikian, kredit yang direstrukturisasi terus menurun hingga saat ini. Di sisi lain, perbankan telah melakukan pencadangan sebagai antisipasi.
Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (Bank BJB) mengakui kenaikan suku bunga dan inflasi akan menekan kemampuan bayar debitur dalam memenuhi kewajibannya. Direktur Utama Bank BJB, Yuddy Renaldi menyatakan hingga saat ini, belum melihat adanya potensi signifikan dari debitur yang terdampak hingga ke kredit bermasalah atau non performing loan (NPL).
“Kami terus melakukan monitoring terhadap portofolio yang memiliki risiko sensitif terhadap kenaikan inflasi khususnya. Selain itu, kami terus melakukan ekspansi dengan lebih selektif,” ujar Yuddy kepada Kontan.co.id pada Rabu (28/9).
Baca Juga: Penyaluran KPR Bank Mandiri Naik 8% Per Agustus
Selain itu, BJB juga telah melakukan pencadangan terhadap kredit berisiko atau loan at risk (LAR) sebesar 25,2% per Juni 2022. Sedangkan pencadangan atau coverage to NPL BJB sebesar 152,9%. Ia menyatakan rasio tersebut sudah cukup prudent. Terlebih, LAR Bank BJB tergolong rendah hanya sebesar 6,8%.
“Adapun kredit restrukturisasi kami sampai dengan Juni sekitar 3% dari total kredit. Dari nilai tersebut kurang lebih setengahnya kami melihat berpotensi untuk exit flag dari kredit restrukturisasi kembali ke normal,” paparnya.
Presiden Direktur CIMB Niaga Lani Darmawan menyatakan portofolio restrukturisasi tinggal 2,7% dari total kredit dan pembiayaan yang sudah disalurkan hingga semester I-2022. Ia merinci 3% dari segmen UMKM, 5% dari segmen komersial 5%, dan 3% dari segmen korporasi masih harus mengikuti program restrukturisasi. Sedangkan segmen ritel tidak ada lagi yang membutuhkan relaksasi ini.
“Restrukturisasi Covid-19 ini kita harus sesuai kenyataan, kalau memang setelah restrukturisasi tidak berhasil ya sudahlah (jatuh ke NPL). Namun ada penurunan lagi di September 2022 ini,” papar Lani.
Direktur Manajemen Risiko Bank Mandiri Ahmad Siddik Badruddin menyatakan kredit yang direstrukturisasi terdampak covid-19 pada puncaknya mencapai Rp 98 triliun. Ia menyatakan nilainya terus menurun lantaran ada yang sudah kembali normal, lunas, sebagian dibayar, dan ada yang sudah tidak menjalani program restrukturisasi.
“Untuk account yang sudah kita anggap tidak ada prospek untuk kembali normal, Bank Mandiri sudah melakukan downgrade ke NPL. Sebagian yang high risk sudah kami cadangkan sesuai dengan kondisi debitur untuk menjaga kestabilan portofolio kredit,” paparnya.
Adapun Direktur Utama Bank Mandiri Darmawan Junaidi menyebut sudah menyiapkan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) sebesar 58,4% terhadap outstanding LAR restrukturisasi Covid-19. Total LAR restrukturisasi Covid-19 Bank Mandiri mencapai Rp 19,5 triliun. Pencadangan terhadap LAR ini mencapai Rp 11,3 triliun.
Per Juni 2022, outstanding restrukturisasi Covid-19 Bank Mandiri secara konsolidasi mencapai Rp 75,5 triliun. Sebanyak Rp 58,2 triliun restrukturisasi Covid-19 bank only dan Rp 17,3 triliun dari anak usaha.
Untuk restrukturisasi bank only, Darmawan memproyeksi kredit yang beresiko turun kualitas menjadi hanya sekitar Rp 3 triliun hingga Rp 4 triliun. Ia menyatakan setiap keputusan restrukturisasi yang dilakukan diimbangi dengan pemantauan secara berkelanjutan ke lapangan terhadap kondisi usaha nasabah.
Baca Juga: Jaga Pemburukan Kualitas Aset, Bank BRI Masih Menahan Bunga Kredit
Adapun PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) mencatatkan outstanding restrukturisasi Covid-19 secara konsolidasi sebesar Rp 62,9 triliun per Juni 2022. Angka tersebut sudah turun Rp 9,2 triliun dari akhir 2021. Namun dari jumlah itu, sekitar 3,5% sudah turun jadi NPL, 12,2% masuk dalam perhatian khusus, dan 84,1% masih dalam ketegori lancar.
David Pirzada Direktur Manajemen Risiko BNI mengungkapkan, debitur yang sulit bangkit masih berasal dari sektor hotel, akomodasi, dan pariwisata, terutama di Bali yang memang mengandalkan lalu lintas turis mancanegara.
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan panduan mengantisipasi pemburukan kredit. OJK mencatat, restrukturisasi kredit Covid-19 turun menjadi Rp 560,41 triliun pada Juli 2022. Jika dibandingkan, pada Juni 2022 sebesar Rp 576,17 triliun.
Mengantisipasi potensi kenaikan NPL, OJK akan melakukan evaluasi berbagai alternatif kebijakan serta mendorong sektor - sektor strategis yang dapat mendorong pemulihan ekonomi nasional.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News