Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - Bagi investor di penghujung tahun 2025 ini, isu penurunan suku bunga acuan oleh Federal Reserve (The Fed) di kuartal pertama atau kedua 2026 telah menjadi sentimen terkuat yang menopang harga emas.
Melansir CBS News, Banyak analis meyakini, harga emas masih akan naik pada 2026, dan permintaannya tetap tinggi sepanjang tahun.
“Alasan strategis untuk menyimpan emas tetap kuat hingga 2026,” kata Joseph Cavatoni dari World Gold Council.
Menurutnya, nilai emas tetap relevan sebagai alat diversifikasi, aset likuid, serta pelindung dari gejolak ekonomi dan inflasi.
Ben Nadelstein dari Monetary Metals menambahkan bahwa kenaikan harga emas masih mungkin berlanjut karena dolar AS masih berpotensi melemah.
Namun, seberapa tinggi kenaikannya bergantung pada beberapa faktor: geopolitik, kebijakan bank sentral, inflasi, dan keputusan The Fed.
Perkiran saat ini menempatkan harga emas antara US$ 4.000 hingga US$ 5.300 per ounce pada 2026.
Namun, fokus berlebihan pada emas seringkali membuat investor melewatkan peluang cuan yang lebih luas. Penurunan suku bunga The Fed sejatinya bukan hanya tentang membuat emas menarik, tetapi juga tentang pelemasan Dolar AS (USD) dan peningkatan selera risiko global. Mekanisme ini membuka potensi kenaikan signifikan pada kelas aset yang berbeda.
Baca Juga: Waspada, Bahaya Quishing Mengintai! QR Code Palsu Bisa Sedot Rekening
Kenapa Penurunan Suku Bunga Menggerakkan Aset Berisiko?
Ketika The Fed memangkas suku bunga, dampaknya bersifat ganda:
1. USD Melemah:
Suku bunga rendah membuat Dolar AS kurang menarik dibandingkan mata uang high-yield lainnya, menyebabkan Dolar terdepresiasi. Ini secara otomatis membuat komoditas (yang diperdagangkan dalam USD) menjadi lebih murah bagi pembeli non-AS.
2. Biaya Pinjaman Turun:
Perusahaan, terutama di sektor padat modal dan teknologi, mendapat biaya utang yang lebih rendah, yang meningkatkan margin keuntungan dan prospek pertumbuhan.
3. Aliran Modal ke Emerging Markets:
Dana-dana besar cenderung keluar dari AS menuju pasar negara berkembang (Emerging Markets), mencari imbal hasil (yield) yang lebih tinggi.
Baca Juga: Blueprint Investasi 2026: Era Cash is Trash, Berapa Persen Porsi Emas Ideal?
Tiga Aset Selain Emas yang Siap Terbang
Menurut riset dari JP Morgan dan Kontan (November 2025), berikut adalah tiga kelas aset yang secara historis memiliki korelasi positif terhadap skenario penurunan suku bunga dan pelemahan Dolar:
1. Saham Teknologi (NASDAQ)
Sektor teknologi global, khususnya yang tercatat di bursa seperti NASDAQ, adalah salah satu penerima manfaat terbesar.
Perusahaan teknologi, sering kali memiliki valuasi tinggi yang bergantung pada proyeksi pertumbuhan di masa depan. Suku bunga rendah mengurangi biaya diskonto proyeksi arus kas masa depan tersebut.
Dalam laporan berjudul Outlook 2026 Promise and Pressure, JPMorgan mengatakan bahwa sektor teknologi terus mendorong kenaikan pasar dan siklus pemotongan suku bunga (rate-cutting cycle) diprediksi akan membantu memicu global growth rebound dan mendukung aset pasar.
2. Komoditas Energi (Minyak Mentah)
Komoditas energi utama, seperti Minyak Mentah (WTI dan Brent), juga menjadi aset yang sensitif terhadap pergerakan USD.
Karena harga minyak dipatok dalam Dolar, pelemahan USD akan secara inheren meningkatkan permintaan global. Bagi negara importir di Eropa atau Asia, biaya membeli minyak akan lebih rendah.
Meskipun sentimen The Fed positif, investor harus tetap memperhatikan faktor supply dari non-OPEC+. Informasi tambahan saja, berdasarkan laporan IEA: Oil Market Report - November 2025, pasokan minyak global (terutama non-OPEC+) diproyeksikan meningkat signifikan di tahun 2025 dan 2026, yang akan mengimbangi permintaan. Kondisi ini berpotensi menahan laju kenaikan harga.
3. Mata Uang Negara Berkembang (Emerging Market Currencies)
Mata uang seperti Rupiah (IDR), Rupee India (INR), dan Peso Meksiko (MXN) adalah aset berisiko yang diuntungkan oleh capital inflow.
Saat yield obligasi AS turun, investor global akan mencari pasar yang menawarkan yield lebih tinggi (disebut strategi carry trade). Indonesia, dengan suku bunga acuan yang masih relatif tinggi, menjadi tujuan utama dana panas.
Aliran modal asing masuk ke SUN (Surat Utang Negara) akan memperkuat nilai Rupiah, yang pada akhirnya menguntungkan investor domestik karena daya beli terhadap aset luar negeri (seperti saham teknologi AS atau komoditas) meningkat.
Tabel Komparasi: Sensitivitas Aset terhadap Rate Cut The Fed
Berikut adalah perbandingan risiko dan sensitivitas (skala 1-5, di mana 5 sangat sensitif) dari aset-aset yang diuntungkan oleh kebijakan The Fed yang lebih longgar, per data Desember 2025:
| Aset | Mekanisme Kenaikan | Risiko Utama (Des 2025) | Indeks Sensitivitas (1-5) |
| Emas (Gold) | Permintaan Non-Yielding & Pelemahan USD | Kekuatan tak terduga data inflasi AS | 4/5 |
| Saham Teknologi | Biaya Pinjaman Turun & Peningkatan Risiko | Laporan pendapatan Q4 2025 di bawah ekspektasi | 5/5 |
| Komoditas Energi | USD Melemah (membuat minyak lebih murah) | Over-supply dari non-OPEC+ | 3/5 |
| Mata Uang EM (Rupiah/IDR) | Capital Inflow ke High Yield | Defisit Neraca Transaksi Berjalan Indonesia | 4/5 |
Selanjutnya: Bursa Asia Menguat Rabu (3/12) Pagi, Setelah Reli Teknologi di Wall Street
Menarik Dibaca: Rekomendasi Tablet Terbaik untuk Anak Kuliahan, Ngerjain Tugas Makin Fleksibel
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













